Fraud, dalam banyak jenis dan modus, sudah menjadi permasalahan
klasik di dalam aktivitas bisnis, sejak dahulu kala hingga kini. Begitu banyak
contoh kasus fraud yang muncul ke permukaan. Bahkan saya pribadi berani
mengatakan: tidak ada perusahaan yang samasekali bebas dari fraud, termasuk
perusahaan yang bergerak di bidang jasa audit dan anti-fraud sekalipun. Di mana
ada uang dan kekayaan (baca: aset), di sana PASTI ada fraud.
Jikapun ada yang mengatakan, “Oh tidak. Di perusahaan saya tidak ada yang namanya fraud,”
itu karena, either mereka belum tahu cakupan fraud itu sampai dimana, atau
karena intensitas dan derajat fraudnya yang lebih halus.
Misalnya: apakah sengaja datang terlambat 30 menit—setelah
istirahat—itu termasuk fraud? Apakah menggunakan komputer dan koneksi internet
kantor untuk ber-sosial-media-ria itu termasuk fraud?
Kita di Indonesia, sudah sangat familiar dengan istilah “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Ini karena saking maraknya terjadi baik di ranah oragnisasi (baca: perusahaan)
swasta maupun pemerintah.
Apakah perusahaan di negara-negara maju sana (yang rule of
conduct-nya sudah begitu jelas) aman dari fraud? Ternyata TIDAK.
Sebuah headline di Bloomberg, baru-baru ini, menyebutkan:
Limabelas persen CFO, dalam skala global, bersedia “mengeluarkan
dana” untuk memenangkan kompetisi bisnis atau melanggengkan hegemoni
bisnisnya—sesuai dengan hasil survey yang diselenggarakan oleh Ernst &
Young. (Sumber: Bloomberg).
“Mengeluarkan dana” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah “bribe”
alias menyuap bin nyogok. Apakah ini tergolong tindakan fraud? IYA, jelas.
Ini jenis fraud yang dilakukan oleh manajemen level atas, alias eksekutif,
alias C-suite.
Di level bawah, tindakan
suap-menyuap juga banyak (dan lumrah) terjadi. Misalnya:
·
Menyuap buying agent
untuk memperoleh order (fraud oleh orang marketing).
·
Menerima suap dari
vendor denga mempercepat proses pembayaran
·
Menyuap oknum pemeriksa
pajak supaya proses audit dimudahkan
·
Menyuap hanggar bea
cukai untuk meloloskan barang impor yang dilarang
·
Menyuap orang imgrasi
agar pelanggaran ijin kerja orang asinya tidak dipermasalahkan
·
Dan bentuk-bentuk
penyuapan lainnya
Memberikan traktiran
kepada staf accounting, supaya mudah dapat cash bond, pun juga tergolong fraud.
Dan tindakan menyuap, hanya salah satu diantara banyak jenis dan modus fraud
yang lainnya.
So, apa itu fraud?
Untuk “standard hunter”—yang menginginkan segala hal
(kata-per-kata) berdasarkan standar, mohon maaf, tidak ada definisi fraud resmi
dan standar. Jika diminta mendefinisikan, maka saya akan mengatakan:
“Fraud adalah tindakan curang, yang dilakukan sedemikian rupa,
sehingga menguntungkan diri-sendiri/kelompok ATAU merugikan pihak lain
(perorangan, perusahaan atau institusi).”
Bagaimana caranya mengidentifikasi; apakah suau tindakan tergolong
fraud atau tidak?
Dari definisi di atas,
bisa kita lihat fraud mengandung beberapa unsur, yaitu:
·
Tindakan yang disengaja
·
Kecurangan
·
Keuntung
pribadi/kelompok atau kerugian di pihak lain
Misal, untuk teman-teman mahasiswa: Apakah menyontek saat
UAS tergolong tindakan fraud?
Untuk menguji, kita
lihat apakah unsur-unsur di atas terpenuhi:
·
Apakah menyontek adalah
tindakan yang disengaja? IYA
·
Apakah menyontek
tergolong curang? IYA
·
Apakah menyontek
menguntungkan diri-sendiri/kelompok? IYA
Semua unsur terpenuhi,
berarti menyontek saat UAS adalah tindakan fraud. Iya dong, jelas fraud. Tanpa
melihat ukuran dan kerugian yang ditimbulkan, asalkan ketiga unsur itu
terpenuhi, maka suatu tindakan sudah bisa dikategorikan sebagai fraud.
Jenis-jenis Fraud
Seperti sudah saya
sampaikan di awal, tulisan ini berfokus pada tindakan fraud di dalam perusahaan
saja (internal fraud).
Oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE),
internal fraud (tindakan penyelwengan di dalam perusahaan ata institusi)
dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Fraud Terhadap Aset (Asset Misappropriation) – Singkatnya, penyalahgunaan
aset perusahaan (institusi), entah itu dicuri atau digunakan untuk keperluan
pribadi—tanpa ijin dari perusahaan. Seperti kita ketahui, aset perusahaan bisa
berbentuk kas (uang tunai) dan non-kas. Sehingga, asset misappropriation
dikelompokan menjadi 2 macam:
·
Cash Misappropriation – Penyelewengan
terhadap aset yang berupa kas (Misalnya: penggelapan kas, nilep cek dari
pelanggan, menahan cek pembayaran untuk vendor)
·
Non-cash
Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-kas (Misalnya:
menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi).
2. Fraud Terhadap Laporan Keuangan (Fraudulent
Statements) – ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: (a)
financial; dan (b) non-financial. Saya lebih suka mengatakan: segala tindakan
yang membuat Laporan Keuangan menjadi tidak seperti yang seharusnya (tidak
mewakili kenyataan), tergolong kelompok fraud terhadap laporan keuangan. Misalnya:
·
Memalsukan bukti
transaksi
·
Mengakui suatu transaksi
lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya,
·
Menerapkan metode
akuntansi tertentu secara tidak konsisten untuk menaikan atau menurunkan laba
·
Menerapkan metode
pangakuan aset sedemikian rupa sehingga aset menjadi nampak lebih besar
dibandingkan yang seharusnya.
·
Menerapkan metode
pangakuan liabilitas sedemikian rupa sehingga liabiliats menjadi nampak lebih
kecil dibandingkan yang seharusnya.
3. Korupsi (Corruption) – ACFE membagi jenis tindakan korupsi
menjadi 2 kelompok, yaitu:
·
Konflik kepentingan (conflict of
interest) – Saya mengalami kesulitan mencari kalimat yang paling tepat
untuk mendeskripsikan. Contoh sederhananya begini: Seseorang atau kelompok
orang di dalam perusahaan (biasanya manajemen level) memiliki ‘hubungan
istimewa’ dengan pihak luar (entah itu orang atau badan usaha). Dikatakan
memiliki ‘hubungan istimewa’ karena memiliki kepentingan tertentu (misal: punya
saham, anggota keluarga, sahabat dekat, dll). Ketika perusahaan bertransaksi
dengan pihak luar ini, apabila seorang manajer/eksekutif mengambil keputusan
tertentu untuk melindungi kepentingannya itu, sehingga mengakibatkan kerugian
bagi perusahaan, maka ini termasuk tindakan fraud. Kita di Indonesia menyebut
ini dengan istilah: kolusi dan nepotisme.
·
Menyuap atau Menerima
Suap, Imbal-Balik (briberies and excoriation) – Suap, apapun
jenisnya dan kepada siapapun, adalah tindakan fraud. Menyupa dan menerima suap,
merupakan tindakan fraud. Tindakan lain yang masuk dalam kelompok fraud ini
adalah: menerima komisi, membocorkan rahasia perusahaan (baik berupa data atau
dokumen) apapun bentuknya, kolusi dalam tender tertentu.
Dari jenis-jenis korupsi
di atas saja sudah jelas terlihat, betapa banyaknya macam fraud itu.
Masing-masing jenis fraud bisa terjadi dalam berbagai variasi modus.
Di akhir tulisan nanti saya akan sajikan contoh variasi modus
internal fraud yang lumrah terjadi di perusahaan-perusahaan. Sebagai penutup,
saya akan overview fraud dan profesi fraud examiner di masa depan.
Sebelum ke contoh variasi modus fraud, ada pertanyaan yang menarik
untuk dicermati: siapa, atau lebih tepatnya di bagian mana (di dalam
perusahaan) fraud terjadi?
Di Bagian Mana (Dalam Perusahaan) Fraud Terjadi?
Di awal tulisan saya
mengatakan fraud terjadi di hampir seluruh perusahaan (dalam skala apapun).
Jika scope-nya dipersempit menjadi dalam satu perusahaan, di bagian mana fraud
terjadi?
Menurut saya, fraud
terjadi di semua bagian, dalam kadar dan frekwensi yang berbeda-beda tentunya.
Sayangnya, saya belum pernah menemukan hasil penelitian ilmiah, untuk wilayah
Indonesia, sehubungan dengan topik ini.
Hasil survey trend oleh bagian Forensic and Valuation
Services (FVS) oleh pihak AICPA, di Amerika Serikat sana, menunjukan
data sbb:
Contoh-contoh Modus Internal Fraud
Berikut ini adalah beberapa contoh modus internal fraud yang kerap
terjadi di dalam perusahaan atau instutusi, yang saya ambil dari tulisan “FRAUD
RISK MANAGEMENT, A guide to good practice,” oleh Gillian Lees (CIMA,
Head of Corporate Governance).
Contoh Modus Fraud Pada Kas (Penyalahgunaan Aset):
·
Mencuri dari kas kecil
(petty cash)
·
Mengambil uang dari
kasir.
·
Skimming uang tunai
sebelum pengakuan pendapatan atau piutang (mengecilkan penjualan atau piutang)
dilakukan.
·
Mencuri kas/cek masuk
dengan mengalihkannya ke rekening pribadi
·
Membuat invoice tagihan
palsu dengan tanda tangan palsu, seolah-olah itu tagihan dari vendor, tentunya
dengan slip penerimaan barang palsu juga.
·
Membuat email permintaan
pembayaran palsu, seolah-olah datangnya dari vendor, yang disusul dengan
pengiriman invoice (hardcopy) palsu, dengan approval palsu juga.
·
Memanfaatkan semptinya
waktu di saat-saat menjelang tutup buku, karyawan nakal membuat invoice tagihan
palsu, seolah-olah itu invoice susulan (ketinggalan)—untuk mempermudah proses
approval pembayaran.
·
Pencurian cek
perusahaan.
·
Pemalsuan cek
perusahaan.
·
Mengubah nama dan atau
nominal cek pembayaran
·
Menyetorkan cek ke
rekening pihak ketiga tanpa persetujuan manajemen perusahan
·
Cek kiting (skema
penipuan menggunakan dua rekening deposito untuk menarik uang secara ilegal
dari bank).
·
Menggunakan kartu kredit
atau procurement card perusahaan secara tidak sah (bukan untuk kepentingan
perusahaan dan tanpa ijin yang berwenang dalam perusahaan).
·
Mengubah angka nominal
di invoice tagihan ke pelanggan
·
Membuat memo kredit
palsu untuk seolah-olah mengembalikan pembayaran ke pelanggan.
·
Membayar lebihan kepada
vendor untuk diam-diam dikompensasikan di penagihan berikutnya (dan mengantongi
pengembalian berikutnya).
·
Membuat vendor fiktif
untuk membuat tagihan palsu.
·
Mensuplai barang ke
dalam persuahaan, lalu diam-diam mengubah catatan tagihan internal perusahaan.
·
Mencuri identitas dan
password yang bukan wewenangnya, untuk melakukan transaksi internet banking.
Contoh Modus Fraud Pada Barang Persediaan dan Aktiva Tetap:
·
Mencurian barang
persediaan perusahaan
·
Membuat memo debit untuk
akun persediaan, untuk kemudiaan bisa mengeluarkan barang persediaan
·
Mengeluarkan barang dari
gudang dalam jumlah yang lebih besar dari packing list (srat jalan)
·
Menggelapkan piranti
kerja protable (kamera, scanner, keyboard, maouse, monitor, komputer, laptop,
tablet, handphone, dll).
·
Mencuri informasi
tentang pelanggan yang dirahasiakan oleh perusahaan untuk dijual ke perusahaan
pesaing atau pihak ketiga lainnya.
·
Menjual
rancangan/desian/atau informasi sehubungan dengan itu, untuk kemudian dijual
kepada perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
·
Menerima barang
hadiah/gift/souvenir apapu bentuknya dari pemasok, di luar kebijakan
perusahaan, tanpa seijin pihak yang berwenang dalam perusahaan.
·
Mengunakan property perusahaan
secara tidak sah, untuk kepentingan bukan perusahaan, tanpa seijin pihak
berwenang dalam perusahaan.
·
Inside trading
(perusahaan dalam perusahaan), menjalankan bisnis pribadi di dalam
persuahaan—entah itu bertindak selaku vendor, pelanggan, atau broker, tanpa
persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses Pembelian
·
Mengubah Purchase
Request dan Purchase Order (PO) yang sah, tanpa seijin pihak otoritas.
·
Menyalin atau memalsukan
tandatangan approval Purchase Request dan Purchase Order.
·
Memalsukan kelengkapan
dokumen tagihan
·
Menyalin atau memalsukan
tandatangan otorisasi pembayaran
·
Mengajukan faktur
pembayaran palsu dari pemasok fiktif.
·
Mengubah termin
pembayaran/kredit yang sah tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam
perusahaan.
·
Mengubah daftar harga
barang-barang yang dibeli oleh perusahaan
·
Menahan pembayaran ke
vendor untuk alasan dan kepentingan pribadi.
·
Membocorkan informasi
kepada vendor sehubungan dengan tender pembelian yang diselenggarakan oleh
perusahaan.
·
Memberikan perioritas
pembayaran istimewa kepada vendor tertentu, di luar analisa umur utang—tanpa
seijin pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses Penggajian:
·
Memasukan nama dan
identitas karyawan fiktif yang sesungguhnya tidak ada
·
Memalsukan atau mengubah
jam/hari kerja pegawai—yang dibayar berdasarkan jam atau hari.
·
Memasukan catatan lembur
fiktif
·
Memotong pembayaran gaji
pegawai, seolah-olah hukuman dari perusahaan, untuk kemudian selisihnya
dikantongi sendiri.
·
Berkolusi dengan pegawai
lain untuk menaikan nominal komisi penjualan
·
Menaikan upah/gaji,
mengubah rate lembur tanpa instruksi dari pihak yang berwenang.
·
Memanipulasi catatan
jumlah cuti yang telah diambil
·
Mengajukan klaim
pembayaran perawatan kesehatan fiktif
·
Memalsukan atau mengubah
angka nominal klaim penggantian biaya berobat
·
Membuat klaim kompensasi
pegawai kontrak/borongan untuk pekerjaan yang sesungguhnya tidak ada.
·
Dengan sengaja menunda
penghapusan nama pegawai yang berhenti, untuk kemudian gajinya tetap dibayarkan
untuk dikantongi sendiri (kerap terjadi di perusahaan-perusahaan besar)
·
Membayarkan dana
tunjangan (kesehatan, asuransi, pendidikan) untuk pegawai yang sudah berhenti.
Contoh Modus Fraud Pada Laporan Keuangan:
·
Dengan sengaja melakukan
pengakuan pendapatan terlalu besar/terlalu kecil
·
Dengan sengaja tidak
melakukan penutupan buku di akhir periode (untuk melakukan perubahan-perubahan
tanpa perlu adjustment)
·
Dengan sengaja menaikan
nilai penjualan menjelang penutupan buku, untuk kemudian di ajust setelah
periode berlalu.
·
Dengan sengaja
memundurkan tanggal kontrak (PO) penjualan
·
Mencatat penjualan dan
pengiriman barang fiktif
·
Memasukan nilai
penjualan yang lebih besar dari kenyataannya
·
Tidak mencatat dan
menghilangkan bukti transaksi penjualan agar laba nampak kecil (untuk
penghindaran pajak)
·
Dengan sengaja
memasukaan jenis penjualan non-operasional ke kelompok pendapatan opersional,
atau sebaliknya.
·
Memanipulasi angka
diskon atau rabat
·
Membuat estimasi barang
kembali, melakukan perubahan harga dan jenis konsesi lainnya
·
Dengan sengaja tidak
mencatat barang retur
·
Mengakui pendapatan atas
tagihan yang jelas-jelas ditolak oleh pelanggan
·
Mengakui pendapatan
(revenue) atas contoh produk (sample/mock up/model) yang terkirim, padahal
aslinya tidak dibayar, agar pendapatan nampak besar pada Laporan Laba/Rugi.
·
Mengakui pengiriman
barang konsinyasi sebagai penjualan putus
·
Dengan sengaja
menghilangkan bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menghindari pengakuan
biaya/pendapatan.
·
Dengan sengaja membuat
bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menaikan atau menurunkan pendapatan.
·
Dengan sengaja tidak
mengakui atau menunda kewajiban kontinjensi
·
Dengan sengaja
menggunakan estimasi persentase pendapatan lebih besar atau lebih kecil dari
yang seharusnya, dari metode pengakuan pendapatan persentase penyelesaian
kontrak
·
Dengan sengaja mengakui
piutang dari pihak yang memiliki hubungan istimewa
·
Membuat surat perjanjian
tidak sah untuk dijadikan bukti transaksi
·
Mengakui pendapatan atas
penyelesaian barang yang sesungguhnya tidak akan pernah dikirimkan ke
pelanggan.
·
Mencatat adanya
pengiriman barang lebih awal (entah sebagian atau seluruhnya), padahal
sesungguhnya barang belum terkirim.
·
Mengakui perolehan aset
tetap fiktif.
·
Mengakui nilai pembelian
aset bersih lebih tinggi dari kesepakatan yang sesungguhnya, dalam proses
merger dan akuisisi.
·
Mengubah angka nilai
wajar aset atas hasil revaluasi
·
Mengakapitalisasikan
suatu biaya (kedalam aset) yang seharusnya tidak dikapitalisasi.
·
Mengakui sewa pembiayaan
sebagai biaya sewa, untuk menghindari pengakuan kewajiban sewa.
·
Mensekemakan metode
penyusutan atau amortisasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih besar atau
lebih kecil, untuk maksud menaikan nilai aset atau menaikan pendapatan.
·
Mengakui goodwill dan
aset tak berwujud lainnya dalam nilai yang lebih besar dari yang seharusnya.
·
Mengakui adanya
investasi yang sesungguhnya fiktif
·
Memanipulasi nilai wajar
investasi dari hasil revaluasi yang sah atau dengan sengaja tidak melakukan
revaluasi saat harga pasar instrument invetasi mengalami penurunan
·
Mengakui adanya rekening
bank dan rekening koran yang sesungguhnya tidak ada
·
Menaikan nilai barang
bersediaan dengan memasukan barang persediaan fiktif.
·
Menggunakan metode
penilain barang persediaan yang tidak sesuai (tidak diijinkan oleh standar).
·
Dengan sengaja
menggunakan metode penilaian barang persediaan secara tidak konsisten
·
Mengakui nilai tagihan
lebih besar dari yang sesungguhnya.
·
Dengan sengaja
mengakrualkan biaya yang sesungguhnya telah terjadi dan nilai nominalnya sudah
diketahui secara pasti (sudah ada tagihan)
·
Mengakui nilai utang
yang lebih kecil dari yang seharusnya
·
Mensekemakan penentuan
provisi, cadangan, termasuk penurunan nilai dan translasi mata uang asing,
sedemikian rupa untuk menaikan nilai aset atau menurunkan nilai liabilitas
·
Perlakuan atas transaksi
inter-company yang tidak sesuai.
·
Perlakuan penukaran atau
penarikan aset yang tidak sesuai
Contoh Modus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme:
·
Memberi perlakuan
istimewa kepada pelanggan dan/atau vendor guna memperoleh suap—yang biasa
disebut dengan “balas jasa” (kickback).
·
Berkolusi dengan pihak
pelanggan/dan atau vendor.
·
Menerima suap dari
vendor, setelah memberi perlakuan istimewa (yang menguntungkan vendor).
·
Menerima suap atas
pemberian kontrak
·
Menyetujui pemberian
order kepada supplier guna memperoleh suap
·
Membayar atau tidak
membayar vendor, yang secara langsung-tidak langsung memberi keuntungan
komersial atau bentuk manfaat kompetitif lainnya bagi pada vendor lain, dan
memperoleh suap darinya.
·
Menyuap petugas/pejabat
pemerintah guna memperoleh perlakuan istimewa atau keuntungan tertentu (misal:
auditor pajak, bea cukai, imigrasi, dll).
·
Menerima suap dari
perusahaan terakuisisi, sehubungan dengan akuisi bisnis, setelah memberikan
perlakuan istimewa yang menguntungkan bagi perusahaan terakuisisi. (biasanya
oleh senior management)
·
Menjual property
perusahaan di bawah harga pasar, guna memperoleh suap dari pembeli.
·
Membeli property untuk
persusahaan guna memperoleh suap dari penjual atau agennya.
·
Menjual konsultasi
pribadi dengan pihak ketiga yang bergerak di bidang usaha yang sama atau
sejenis.
·
Merekrut staf yang
memiliki ‘hubungan istimewa’ dengannya, sementara ada kandidat yang memiliki
kualifikasi yang lebih baik.
·
Memberikan
advise/alih-pengetahuan/training kepada pihak (perusahaan) pesaing, dalam
rangka akan pindah kerja ke sana.
·
Mengikutsertakan diri
dalam aktivitas anti-trust (menjelek-jelekan) perusahaan
·
Mengikutsertakan diri
atau berkontribusi (langsung atau langsung) dalam aktivitas politik secara
ilegal.
·
Mengancam keselamatan
pihak (perusahaan) lain guna memperoleh imbal-balik.
·
Menjanjikan keselamatan
dan perlindungan bagi kesalahan yang dilakukan oleh orang (pihak lain) guna
memperoleh imbal-balik.
·
Mengancam akan membuka
rahasia perusahaan atau pihak lain, guna memperoleh imbal-balik.
Fraud dan Fraud Examiner Di Masa Yang Akan Datang
Tentu saja, yang di atas
hanya sebagian dari contoh modus fraud yang terjadi di dalam perusahaan. Kian
hari, orang yang tidak bertanggungjawab kian kreatif dan cerdik. Ditambah lagi
dengan kehadiran prianti berteknologi tinggi, ke depannya fraud akan semakin
marak terjadi. Dengan semakin meningkatnya jumlah dan frekuensi transaksi
berbasis internet, internal fraud mungkin akan mulai bergeser ke eksternal
fraud; pencurian (uang, data, informasi bernilai tinggi) yang dilakukan oleh
pihak luar perusahaan.
Melihat penomena fraud
yang tak kunjung menurun, dengan jenis-modus fraud yang semakin pintar dan
canggih, rasanya sudah saatnya bagi perusahaan untuk menerapkan sistim
antisipasi fraud yang semakin dimutakhirkan (bukan sekedar sistim pengendalian
intern yang usang).
Note (untuk adik-adik mahasiswa): Profesi ‘fraud examiner‘ ini
memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Untuk sektor pemerintah, tentu sudah
ada inspektorat jenederal (depkeu) dan bawasda (daerah), tetapi untuk sektor
swasta sampai saat ini, fraud examiner di Indonesia masih langka (bahkan
mungkin belum ada). Di luar sana, sertifikasi dan profesi fraud examiner sudah
banyak tersedia. Saya belum tahu, apakah di Indonesia sudah ada. Jika sudah ada,
coba pertimbangkan untuk mengambil pendalaman profesi ini (selain auditor
laporan keuangan yang sudah umum). Lebih bagus lagi jika dikombinasikan
dengan IT Forensic.
Contoh Kasus Fraud PT. KIMIA
FARMA
PT
Kimia Farma merupakan salah satu dari produsen obat-obatan milik pemerintah
yang ada di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia
Farma melaporkan adanya laba bersih yaitu sebesar Rp 132 milyar, dan laporan
tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM).
Namun,
Kementrian BUMN dan BAPEPAM menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar
dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober
2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali dan hasilnya telah
ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.
Pada
laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56
miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal
yang telah dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu
kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik
Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit
Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan
overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Diduga upaya penggelembungan dana
yang dilakukan oleh pihak direksi Kimia Farma, dilakukan untuk menarik para
investor untuk menanamkan modalnya kepada PT. Kimia Farma.
Kesalahan
penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam
daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur
produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan pada tanggal 1 dan 3
Februari2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan
dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31
Desember 2001.
Sedangkan
kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya
pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada
unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil
dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang
mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang
berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut
juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.Sebagai
akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500
juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM
yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang
dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi
risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT
Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.
tanggapan
: menurut saya kasus PT. Kimia Farma melibatkan direktur produksi dan Hans
Tuanakotta & Mustofa(HTM) yang mengaudit laporan dari PT Kimia Farma dan
melakukan kecurangan yang mendasar dengan melaporkan laba bersih sebesar 132
milyar untuk menarik para investor agar menanamkan modalnya pada PT. Kimia
Farma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar