Proposal Penelitian Budaya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah negara yang memiliki kekayaan yang beraneka ragam yang tersebar mulai
dari sabang sampai merauke. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
tersebut bukan hanya berupa kekayaan sumber alam saja, tetapi masyarakat
Indonesia juga memiliki kekayaan lain seperti kekayaan akan kebudayaan suku
bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.
Salah
satu kekayaan kebudayaan orang-orang Jawa adalah upacara pernikahan adat Jawa.
Adat istiadat pernikahan Jawa ini merupakan salah satu tradisi yang bersumber
dari Keraton. Adat istiadat ini mengandung nilai-nilai luhur yang mencerminkan
luhurnya budaya orang Jawa. Luhurnya budaya tersebut tercermin dari busana
pengantin yang dikenakan pada saat upacara pernikahan serta tata riasnya yang
mengandung makna simbolik.
Pernikahan
merupakan salah satu peristiwa besar yang sangat penting dan sakral di dalam
sejarah kehidupan manusia. Oleh karena itu, peristiwa sakral tersebut tidak
akan dilewatkan begitu saja seperti mereka melewati kehidupan sehari-hari.
Peristiwa pernikahan dilaksanakan dengan berbagai serangkaian upacara yang di
dalamnya mengandung nilai budaya yang luhur dan suci. Setiap orang yang
menyelenggarakan upacara pernikahan tidak akan merasa ragu-ragu untuk
mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, serta biaya yang besar untuk kelancaran
terselenggaranya upacara pernikahan tersebut.
Di
Indonesia terdapat bermacam-macam upacara pernikahan adat yang diwariskan nenek
moyang secara turun temurun, dari generasi yang satu ke generasi yang
berikutnya. Setiap suku daerah yang ada di Indonesia masing-masing mempunyai
upacara adat pernikahan yang berbeda-beda. Masing-masing adat pernikahan
tersebut memiliki keagungan, keindahan, dan keunikan tersendiri. Di daerah
Jawa, memiliki dua macam gaya upacara pernikahan, yaitu upacara pernikahan gaya
Yogyakarta dan upacara pernikahan gaya Surakarta atau Solo. Kedua gaya tersebut
terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam busana dan tata riasnya.
Busana atau pakaian adalah salah satu kebutuhan manusia yang utama, yang
berfungsi sebagai penutup tubuh. Busana dapat mencerminkan suatu norma atau
nilai-nilai budaya suatu suku bangsa yang memilikinya. Dalam kebudayaan Jawa,
busana merupakan unsur kebudayaan yang sangat penting. Busana Jawa adalah salah
satu warisan budaya leluhur kita yang sangat adiluhung dan tinggi nilainya.
Warisan budaya Jawa tersebut harus tetap dipertahankan dan dilestarikan agar
tetap terjaga dan lestari hingga masa yang akan datang. Setiap busana pastilah
mempunyai simbol dan fungsi tersendiri. Seperti sama halnya dengan busana
pengantin yang dikenakan pada upacara pengantin adat Yogyakarta.
Hal
yang cukup penting hubungannya dengan upacara pernikahan adalah busana
pengantin. Busana pengantin merupakan bagian dari aspek kebudayaan manusia yang
disebut dengan kesenian, di mana di dalam busana pengantin tersebut memiliki
arti simbolis yang bermakna. Perwujudan busana pengantin tidak lepas dari
serangkaian pesan yang hendak disampaikan kepada masyarakat umum melalui
simbol-simbol yang dikenal dan tradisi budaya masyarakat tersebut.
Simbol-simbol yang diungkapkan dalam busana pengantin dapat dilihat sebagai
pencerminan dari corak kebudayaan masyarakat Yogyakarta yang mengandung
nilai-nilai dan ajaran bagaimana seharusnya masyarakat Yogyakarta bertingkah
laku di dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalam penelitian ini akan mengkaji tentang
makna simbolik yang terkandung dalam peralatan upacara pengantin adat
Yogyakarta.
B. Fokus Penelitian
Fokus
masalah dalam penelitian ini yang pertama adalah makna simbolik yang terkandung
dalam peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta. Kedua, fungsi busana
pengantin adat Yogyakarta.
C. Rumusan Masalah
Dari
pembatasan makna yang sudah ada maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. bagaimanakah makna simbolik busana pengantin adat Yogyakarta?
2. bagaimanakan fungsi busana pengantin adat Yogyakarta?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan
dalam penelitian ini adalah:
1. untuk memahami dan mendeskripsikan makna simbolik peralatan upacara
pengantin adat Yogyakarta.
2. untuk mengetahui dan mendeskripsikan fungsi busana pengantin adat
Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat
dari penelitian ini adalah untuk menggali nilai-nilai tradisional yang terdapat
pada busana tradisional busana pengantin adat Yogyakarta. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. peneliti sendiri sebagai sarana untuk meningkatkan apresiasi terhadap
peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta mengenai makna simbolik yang
terkandung di dalamnya dan meningkaykan pengetahuan tentang fungsi busana
pengantin adat Yogyakarta tersebut.
2. mahasiswa Program Studi Bahasa Jawa sebagai sarana untuk menambah
pengetahuan dan wawasan tentang busana pengantin adat Yogyakarta.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Makna Simbolik
Istilah makna simbolik dalam penelitian ini ditinjau dari struktur kata, terbentuk
dari dua kata yaitu makna dan simbolik.
1. Makna
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 703) makna
adalah arti, maksud pembicaraan atau penulis, pengertian yang diberikan kepada
suatu bentuk kebahasaan. Lebih lanjut, penggunaan istilah makna dalam penelitian
ini berfungsi sebagai makna khusus. Makna khusus yaitu makna kata atau istilah
yang pemakaiannya terbatas pada bidang tertentu (KBBI, 2002: 703).
Dari
pengertian tentang makna tersebut, dapat diketahui bahwa istilah makna dapat
dipakai dalam berbagai keperluan tetapi sesuai dengan konteks kalimatnya. Di
samping itu, pemakaiannya juga disesuaikan pula dengan bidang-bidang yang
berkaitan dengan pemakaian istilah makna. Berkaitan dengan penelitian ini,
makna yang dipakai adalah makna khusus yaitu istilah yang pemakaian dan
maknanya terbatas pada bidang tertentu.
2. Simbolik
Kata
simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos, yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol ialah sesuatu hal atau
keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek (Budiono, 1983: 10).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan simbol adalah sebagai lambang, menjadi lambang, dan mengenai lambang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan simbol adalah suatu hal atau
keadaan mengenai lambang atau ciri yang merupakan media pemahaman terhadap
suatu objek yang hendak disampaikan kepada seseorang.
Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu sendiri menurut
Koentjaraningrat yaitu menyebutkan bahwa kebudayaan adalah seluruh total dari
pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya,
dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses
belajar.
Budaya
manusia tersebut penuh dengan simbol-simbol. Sebagai mahkluk yang berbudaya,
segala tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan
maupun religinya selalu diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran
atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri
kepada simbol-simbol. Simbolisme selain menonjol perananya dalam hal religi
juga menonjol peranannya dalam hal tradisi atau adat istiadat. Dalam hal ini
simbolisme dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat
yang merupakan warisan turun temurun dari generasi yang tua ke generasi
berikutnya yang lebih muda (Budiono, 1983: 29-30).
Dalam
Kamus Populer Filsafat (1986: 106-107) menyatakan bahwa simbol menurut arti
yang paling dalam adalah setiap tanda atau bukti yang wujudnya dapat diserap
secara inderawi dan yang ada kaitannya dengan pengalaman serta penafsiran
pribadi mengenai hakikat dasar alam raya serta manusia dan sejarahnya. Karena
manusia terbatas dalam daya tangkapnya maka manusia memerlukan gambar-gambar
untuk merangkum dan menyimpan pengalaman tersebut. Simbol merupakan jembatan
antara dasar hakikat kenyataan yang tidak terbatas serta pengalaman dan
penghayatan manusia yang terbatas. Simbol dapat dimengerti, tetapi tidak
dimengerti dengan akal budi, melainkan dengan seluruh pribadi yang terbuka
untuk semesta kenyataan yang hadir di dalam manusia. Setiap benda dapat
dijadikan simbol sejauh kenyataan di dunia hadir di dalam benda tersebut, lalu
berdasarkan suatu pengalaman pribadi ditangkap, dilihat hubungannya dengan alam
semesta serta maknanya.
B. Busana Pengantin Adat Yogyakarta
Busana
atau pakaian adat merupakan salah satu keanekaragaman budaya Indonesia. Busana
merupakan ekspresi, citra, dan kepribadian bangsa, karena dari busana dapat
tercermin norma dan nilai-nilai budaya suatu suku bangsa. Busana mempunyai
bermacam-macam fungsi, antara lain busana berfungsi sebagai pelindung tubuh
atau penutup tubuh, baik dari kotoran, sengatan dari hewan-hewan yang
berbahaya, pelindung dari sengatan sinar matahari, serta pelindung dari suhu
dingin. Fungsi lain dari busana adalah berfungsi sosial. Seiring berjalannya
waktu serta dengan adanya kemajuan zaman yang lebih modern melahirkan
masyarakat yang sangat bervariasi dan busana yang dikenakannya juga menjadi
semakin lebih bervariasi. Variasi busana tersebut disesuaikan dengan beraneka
ragam peranan manusia di dalam suatu kehidupan. Jadi, keanekaragaman tersebut
berhubungan dengan macam status sosial tertentu.
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap
pasangan hidup. Oleh karena itu, pengantin bukan hanya mengikuti agama dan
meneruskan naluri pada leluhur untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan
hubungan yang sah antara pria dan wanita, tetapi juga memiliki arti atau makna
yang sangat mendalam dan luas bagi kehidupan manusia di dalam kehidupan (
Artati Agoes, 2001: 10).
Dalam
kehidupan manusia, pernikahan merupakan tahapan yang sangat penting.Orang yang
telah menikah secara otomatis akan mengalami perubahan status berkeluarga yang
selanjutnya akan mendapat pengakuan sebagai keluarga baru dengan segala
konsekuensi dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Agar keluarga baru yang
dibentuk dalam pengantin mencapai kebahagiaan lahir dan batin dalam kehidupan
berumah tangga dilakukanlah berbagai macam upacara-upacara ritual di dalam
sebuah acara pengantin. Upacara tersebut dalam budaya Jawa dilambangkan atau
disimbolkan dalam busana pengantin yang dikenakan, tata riasnya, serta
perhiasan yang dipakai pengantin lengkap dengan sarana dan prasarananya dalam
bentuk sesaji maupun hiasan-hiasan ruangan tempat acara pengantin tersebut
diselenggarakan (Kuswa Endah, 2006: 31).
Menurut
sejarah, adat istiadat tata cara pengantin Jawa tersebut dahulunya berasal dari
keraton. Tata cara adat kebesaran pengantin Jawa tersebut hanya dapat atau
boleh dilakukan di dalam tembok-tembok keraton atau orang-orang yang masih
keturunan atau abdi dalem keraton. Sampai kemudian Agama Islam masuk ke
keraton-keraton di Jawa, khususnya keraton Yogyakarta dan Solo (Surakarta), dan
sejak itulah tata cara adat pernikahan Jawa berbaur antara budaya Hindu dan
Islam. Paduan itulah yang akhirnya turun-temurun sampai saat sekarang (Artati
Agoes, 2001: 1-2).
Upacara
pernikahan adat di Jawa dibedakan antara upacara pernikahan adat Yogyakarta dan
perknikahan adat Surakarta atau Solo. Selain digunakan oleh masyarakat
Yogyakarta dan Surakarta (Solo), dapat juga digunakan oleh masyarakat di luar
kedua wilayah tersebut seperti di daerah Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan sebagainya. Dari kedua upacara pernikahan tersebut terdapat perbedaan yang
jelas pada tata cara upacara pernikahan adat Yogyakarta dan Surakarta atau Solo
tersebut. Selain itu juga masih terdapat perbedaan yang lain, seperti busana
pengantin, bahasa yang dipakai dalam upacara pengantin, dan sebagainya.
Busana pengantin adat Yogyakarta mempunyai beberapa jenis, masing-masing busana
pengantin tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda dan digunakan untuk
kepentingan yang berbeda-beda pula. Macam-macam busana pengantin adat
Yogyakarta tersebut ada lima macam, antara lain:
1) Busana Pengantin Paes Ageng,
2) Busana Pengantin Paes Ageng
Jangan Menir,
3) Busana Pengantin Yogya Putri,
4) Busana Pengantin kesatrian Ageng,
5) Busana Pengantin Kesatrian (Yosodipuro
dalam Suwarna, 2001: 1).
1. Busana Pengantin Paes Ageng
Busana
Paes Ageng disebut juga dengan busana Basahan. Busana pengantin Paes Ageng
dipakai oleh putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwana pada perkawinan agung di
dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yosodipuro dalam Suwarna, 2001: 1).
Disebut Paes Ageng karena busana tersebut dipakai pada saat perkawinan agung.
Busana paes Ageng digunakan untuk perjamuan pada saat upacara Panggih, yaitu
upacara bertemunya kedua mempelai. Namun pada masa sekarang busana tersebut
biasa dipakai pada saat upacara Panggih sampai upacara Pahargyan (resepsi
pengantin), yang bertujuan untuk kepraktisan, pengantin tidak perlu
berkali-kali berganti pakaian.
Pada busana pengantin Paes Ageng pengantin pria mengenakan kuluk atau tutup
kepala atau mahkota warna biru, tanpa baju, bercelana cinde, dan sandal selop,
kain dodot dua lapis. Pada pending atau ikat pinggang diselipkan keris, hiasan
dada berbentuk bulan sabit bertingkat, kalung rantai panjang dan kelat bahu.
Sedangkan busana pengantin wanita tatarias rambut sangat khas yaitu rambut
sanggul bokor mengkureb dengan gajah ngolig, berhias lima buah cunduk mentul,
rajut melati, gelang tangan, danmemakai kelat bahu. Pengantin wanita tidak
mengenakan baju tetapi langsung memakai semekan atau penutup dada, hiasan dada
berbentuk bulan sabit bertingkat. Busana bawah sama seperti pengantin pria
hanya berbeda teknis pengaturannya dan terdapat selendang cinde menjurai ke
bawah dari pending atau ikat pinggang (Hamzuri, 1998/1999: 89).
2. Busana Pengantin Paes Ageng Jangan Menir
Busana
pengantin Busana Paes Ageng Jangan Menir juga dipakai oleh putra-putri Sri
Sultan Hamengku Buwana pada saat perkawinan agung di dalam Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat (Yosodipuro dalam Suwarna, 2000: 1). Busana Paes
Ageng Jangan Menir digunakan untuk upacara boyongan pengantin wanita ke
kediaman pengantin pria, yaitu semalam sesudah peresmian (Tedjowarsito &
Gresah, 1982: 36).
Pada
masa sekarang ini, busana pengantin Paes Ageng Jangan Menir juga dapat
digunakan oleh para pengantin pada umumnya, bukan hanya di kalangan Keraton
saja yang mengenakannya. Jadi, pengantin dari kalangan manapun boleh mengenakan
busana pengantin Paes Ageng Jangan Menir ini dan dari pihak Keratonpun tidak
melarangnya.
Busana
pengantin Paes Ageng Jangan Menir menggunakan mahkota berwarna hitam
kotak-kotak, memakai jas tutup dan hiasan dada berbentuk bulan sabit
bertingkat. Busana bawahnya yaitu bebed dan tidak memakai dodot, tetapi menggunakan
kain wiron. Busana wanita, tata rias rambut dan hiasannya yaitu cunduk mentul,
memakai baju panjang, hiasan dada berbentuk bulan sabit dan bros. busana
bawahnya yaitu kain nyamping wiron dan cinde menjurai ke bawah yang dimulai
dari pending (Hamzuri, 1998/1999: 90).
3. Busana Pengantin Yogya Putri
Busana
pengantin Yogya Putri biasanya dikenakan pada saat upacara sepasaran atau
sepekanan sehingga busana ini dapat disebut juga sebagai busana corak
sepasaran. Sepasaran adalah hari ke lima setelah upacara panggih. Pada zaman
dahulu busana pengantin Yogya Putri ini dipakai oleh pengantin putra dan putri
Dalem pada waktu berkunjung ke Gubernur Belanda. Waktunya antara hari ke-5 dan
ke-35. Hari ke-35 setelah upacara panggih disebut dengan selapanan (Suwarna,
2001: 10).
4. Busana Pengantin Kesatrian Ageng
Busana
pengantin Kesatrian Ageng biasa dikenakan pada saat upacara pahargyan atau
resepsi pernikahan. Busana pengentin Kesatrian ageng bersifat semi-formal. Oleh
karena itu, busana ini jarang dikenakan pada saat upacara panggih atau upacara
bertemunya kedua mempelai pengantin pria dan wanita. Busana pengantin Kesatrian
Ageng juga dikenakan oleh Ngarsadalem dan putra-putri pangeran pada tanggal 20
malam bulan maulud. Karena busana ini selalu dikenakan pada tanggal 20 malam,
busana ini juga disebut busana malem selikuran (Suwarna, 2001: 12-13).
5. Busana Pengantin Kesatrian
Busana
pengantin Kesatrian dikenakan pada saat upacara pahargyani atau resepsi
pernikahan. Busana pengantin Kesatrian merupakan busana pengantin yang paling
sederhana. Meskipun sederhana, namun busana pengantin ini tampak anggun dan
berwibawa. Busana pengantin ini bersifat mencerminkan situasi yang santai atau
tidak formal. Pada masyarakat umum busana pengantin Kesatrian biasanya juga
dikenakan pada saat upacara ngundhuh mantu atau boyongan pengantin (Suwarna,
2001: 14-16).
Busana
pengantin kesatrian pada pengantin pria mengenakan blangkon atau tutup kepala,
baju surjan kembangan, kalung panjang dengan bros di dada, jam saku dengan
rantai panjang menyilang di perut, bebed wiron, dan sandal selop. Sedangkan
pada busana pengantin wanita tata riasnya tidak banyak mengenakan kembang
goyang, baju panjang kembang tampak longgar tetapi rapi, kain nyamping semotif
dengan yang dikenakan oleh pengantin pria serta mengenakan sandal selop.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik dalam busana pengantin adat
Yogyakarta. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Data
yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam bentuk tertulis maupun lisan. Seluruh
data kemudian dianalisis secara induktif sehingga menghasilkan data yang
deskriptif.
Untuk
memperoleh data dilakukan atau dibutuhkan teknik pengumpulan data. Adapun
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi atau pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi yang berupa sumber bacaan atau tertulis, serta foto
atau gambar dari busana pengantin adat Yogyakarta.
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek
dalam penelitian ini meliputi perias (pemaes) pengantin yang bertempat tinggal
di wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta dan sesepuh atau pengageng Keraton
Yogyakarta. Sesepuh atau pengageng dan perias pengantin dijadikan subjek karena
merekalah yang tahu secara lengkap tentang makna simbolik yang terkandung dalam
busana pengantin adat Yogyakarta tersebut. Sedangkan objek dalam penelitian ini
adalah busana pengantin adat Yogyakarta.
C. Setting Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian akan dilakukan
secara acak dalam beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman Yogyakarta
tersebut dan diambil beberapa perias pengantin sebagai responden yang
diwawancarai tentang topik penelitian. Selain itu, penelitian juga dilakukan di
dalam Keraton Yogyakarta kepada para sesepuh atau pengageng keraton Yogyakarta
sebagai responden lain yang diwawancara tentang topik tersebut.
D. Data Penelitian
Data
dari penelitian ini diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Adapun bentuk data dalam penelitian ini adalah:
1. Makna simbolik peralatan upacara pengantin adat Yogyakarta.
2. Fungsi busana pengantin adat Yogyakarta.
E. Sumber Data
Sumber
data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dari observasi dan wawancara
secara tertulis dan non tertulis di tempat penata rias pengantin adat
Yogyakarta serta di Keraton Yogyakarta. Setelah melakukan kegiatan observasi
dan wawancara, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan dokumentasi mengenai
keterangan-keterangan tertulis, yaitu berupa buku-buku yang menyangkut tentang
busana adat pengantin gaya Yogyakarta.
F. Instrumen Penelitian
Untuk
memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan penelitian, maka dalam hal ini
peneliti berperan aktif dalam teknik pengumpulan data sekaligus sebagai
instrumen penelitian. Hal tersebut disebabkan karena dalam penelitian ini
peneliti bertindak sebagai perencana dan sekaligus sebagai pelaksana dari rancangan
penelitian yang sudah disusun. Diharapkan proses pengambilan data tetap sesuai
dengan perencanaan yang telah dibuat dan mendapatkan hasil seperti tujuan yang
telah ditetapkan. Instrumen lainnya sebagai instrumen pembantu berupa alat
tulis untuk mencatat hal-hal penting yang ditemukan dalam proses pengumpulan
data yaitu observasi, wawancara, tape recorder sebagai alat perekam dalam
wawancara, serta kamera digytal untuk mengambil gambar pada proses penelitian.
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh atau
mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Untuk memperoleh data yang
sesuai dengan permasalahan diperlukan teknik pengumpulan data. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Observasi
Dalam
penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh dan
mengumpulkan data. Proses kegiatan ini lebih ditekankan pada ketelitian dan
kejelian peneliti sendiri. Dalam observasi ini, peneliti melakukan pengamatan
secara langsung tempat yang akan digunakan untuk penelitian.
b. Wawancara
Tahap
kedua dalam mengumpulkan data yaitu melakukan wawancara langsung secara
mendalam dengan responden yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong: 2002: 135).
Wawancara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, untuk
mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui kegiatan observasi yang
dilakukan pada langkah pertama. Pada tahap wawancara ini, peneliti mendengarkan
dengan seksama orang-orang keraton atau para sesepuh keraton serta perias
(pemaes) pengantin yang ada di daerah tersebut dalam menyebutkan makna simbolik
yang terkandung dalam busana pengantin adat Yogyakarta.
c. Dokumentasi
Tahap
dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari wawancara dan
observasi. Dokumen-dokumen yang berisi data-data yang dibutuhkan meliputi
buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar tentang busana pengantin
adat Yogyakarta.
H. Teknik Analisis Data
Penelitian
ini menggunakan analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis ini
mendeskripsikan mengenai makna simbolik dalam busana pengantin adat Yogyakarta.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis induktif.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: inventarisasi atau
pengumpulan data yang diperoleh melalui observasi berpartisipasi dan wawancara
secara mendalam. Langkah yang kedua adalah identifikasi dari sejumlah data yang
ada diambil data yang sesuai dengan topik penelitian. Proses berikutnya ialah
klasifikasi yaitu pengelompokkan data, data dari hasil wawancara yang telah
dilakukan kemudian diperoleh jawaban umum, yaitu diperoleh jawaban responden
yang menguasai dan ada responden yang tidak atau kurang menguasai topik
penelitian. Responden yang bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan topik
penelitian dikelompokkan sendiri, sedangkan responden yang jawabannya kurang
sesuai dengan topik penelitian dikelompokkan sendiri. Langkah selanjutnya ialah
interpretasi, hasil dari wawancara diinterpretasikan tentang makna simbolik
dalam busana pengantin adat Yogyakarta. Selain itu juga dilakukan kajian
tentang fungsi dari busana pengantin gaya Yogyakarta sesuai dengan topik
penelitian. Langkah yang terakhir berupa inferensi atau membuat kesimpulan
hasil akhir dari interpretasi yang sudah dilakukan.
I. Triangulasi
Keabsahan
data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi.
Triangulasi dilakukan agar hasil penelitian ini valid. Triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu
(Moleong, 2002: 178).
Agar mendapatkan data yang lebih valid dan ada kecocokan satu sama lain,
dilakukan triangulasi dari data wawancara dan data observasi, serta dokumentasi
yang berupa rekaman dan foto atau gambar. Triangulasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber. Pengambilan data dilakukan pada
sejumlah sumber data yang berbeda-beda. Data dianggap valid bila jawaban sumber
data yang satu sesuai atau sama dengan jawaban sumber yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Artati. 2001. Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Endah, Kuswa. 2006. Busana Jawa. Yogyakarta: UNY Press.
Hamzuri. 1998/1999. Album Busana Tradisional Indonesia. Yogyakarta: DEPDIKBUD.
Hartanto, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV. Rajawali.
Herusatoto, Budiono. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.