BAB 1
PENGERTIAN HUKUM SECARA UMUM, TUJUAN
DAN SUMBER-SUMBER HUKUM, KODIFIKASI HUKUM DAN PENGERTIAN HUKUM EKONOMI
A.
PENGERTIAN HUKUM SECARA UMUM
Kata hukum secara etimologis biasa diterjemahkan dengan kata
‘law’ (Inggris), ‘recht’ (Belanda), ‘loi atau droit’ (Francis), ‘ius’ (Latin),
‘derecto’ (Spanyol), ‘dirrito’ (Italia). Dalam bahasa Indonesia, kata hukum
diambil dari bahasa Arab yaitu “حكم – يحكم – حكما”, yang berarti “قضى و فصل بالأمر”
(memutuskan sebuah perkara).
Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat
yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan
yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan
tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.
Pada umumnya,
pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam sebagai berikut :
1.
Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa;
perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
2.
Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim;
putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang
dikenal dengan jurisprudence (yurisprodensi).
3.
Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum
diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang
bertugas. Pandagan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
4.
Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku;
sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan:
“setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar
dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
5.
Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah;
kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini
dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang
berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi
pelanggar.
6.
Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan
penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang
saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat,
baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan
dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di
berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat
yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan
untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.
7.
Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung
nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang
berlaku secara umum.
8.
Hukum diartikan
sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan
secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut
adalah syarat ilmu pengetahuan.
9.
Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin
hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan
das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang
dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan.
Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat.
Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus
sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi
penyimpangan pelaksanaan hukum.
10. Hukum
diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di
masyarakat.
Sebagai gejala sosial, hukum
bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan
seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik.
Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu
dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota
masyarakat dapat berjalan aman dan tertib.
B.
SUMBER-SUMBER HUKUM
Beberapa arti sumber hukum :
a.
Sebagai azas hukum
b.
Sebagai hukum terdahulu yang memberikan bahan-bahan
pada hukum saat ini
c.
Sebagai sumber berlakunya hukum (yang memberi kekuatan
berlaku secara formal kepada peraturan hukum)
d.
Sebagai sumber darimana kita dapat mengenali hukum
e.
Sebagai sumber terjadinya hukum / sumber yang
menimbulkan hukum
Sumber hukum dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Sumber hukum materiil : tempat dari mana materi hukum
itu diambil, merupakan factor yang membantu pembentukan hukum. Contoh :
hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi,
dan lain-lain.
2.
Sumber hukum formil : tempat atau sumber dari mana
suatu peraturan memperoleh kekuatan mengikat, berkaitan dengan bentuk atau cara
yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai
sumber hukum formil : UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi, kebiasaan.
C.
KODIFIKASI HUKUM
Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu :
1.
Kodifikasi Terbuka
Kodifikasi terbuka adalah
kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan diluar
induk kodifikasi. Hal ini dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan
hukkum itu sendiri system ini mempunyai kebaikan ialah :
“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan
masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan hukum
disini diartikan sebagai peraturan.”
2.
Kodifikasi Tertutup
Adalah semua hal yang
menyangkut permasalahannya dimasukkan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan
peraturan.
Isi dari kodifikasi tertutup diantaranya :
a.
Politik hukum lama
b.
Unifikasi di zaman hindia belanda (Indonesia) gagal
c.
Penduduk terpecah menjadi :
1. Penduduk bangsa eropa
2. Penduduk bangsa timur asing
3. Penduduk bangsa pribadi (Indonesia)
d. Pemikiran bangsa Indonesia
terpecah-pecah pula
e. Pendidikan bangsa Indonesia
Kodifikasi Hukum adalah pembukuan
jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan
lengkap. Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas:
a)
Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum
yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan.
b)
Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law),
yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis
namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
*
Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a.
Jenis-jenis hukum tertentu
b.
Sistematis
c.
Lengkap
* Tujuan
Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a.
Kepastian hukum
b.
Penyederhanaan hukum
c.
Kesatuan hukum
*Contoh kodifikasi hukum:
Di Eropa :
a.
Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar
Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565.
b.
Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di
Prancis dalam tahun 1604.
Di Indonesia
:
a.
Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
b.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
c.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan 1918)
d.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des 1981)
Aliran-aliran (praktek) hukum setelah adanya
kodifikasi hukum :
1. Aliran Legisme, yang berpendapat bahwa hukum
adalah undang-undang dan diluar undang- undang
tidak ada hukum.
2. Aliran
Freie Rechslehre, yang berpenapat bahwa hukum terdapat di dalam masyarakat.
3. Aliran
Rechsvinding adalah aliran diantara aliran Legisme dan aliran Freie
Rechtslehre. Aliran Rechtsvinding berpendapat bahwa hukum terdapat dalam
undang-undang yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.
D. TUJUAN HUKUM
Sesuai
dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum juga
terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain. Berikut ini
beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum :
1. Prof.
Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat
secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan
masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang
bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat
mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan
tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.
2. Aristoteles:
Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan
oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
3.
Prof. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum
akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny
(Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum adalah
untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan
seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada
sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang
berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan
dan kebenaran.
5. Jeremy
Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum
bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititik
beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa
memperhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah
untuk memberikan faedah sebanyak-sebanyaknya.
6. J.H.P.
Bellefroid: Bellefroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut. Menurut
Bellefroid, isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan
faedah.
7. Prof.
J Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya
kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, akan
dicegah terjadinya perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain, karena
tindakan itu dicegah oleh hukum
E. PENGERTIAN HUKUM EKONOMI
Hukum
ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi
yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari
dalam masyarakat.
Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi
pembangunan dan hukum ekonomi sosial, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai
2 aspek yaitu :
1. Aspek
pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi
2. Aspek
pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata
diantara seluruh lapisan masyarakat.
Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Hukum
ekonomi pembangunan, adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum
mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia
secara nasional.
2. Hukum ekonomi social, adalah yang menyangkut
pengaturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan
ekonomi nasional secara adil dan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia).
F. NORMA DAN KAIDAH HUKUM
Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi
oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan
berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga
berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan. Kaidah hukum ditujukan kepada
sikap lahir manusia atau perbuatan nyata yang dilakukan manusia. Kaidah hukum
tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang
diperhatikannya adalah bagaimana perbuatan lahiriyah orang itu. Coba kita
pikirkan contoh berikut, ada seorang pria menikahi seorang wanita dengan sah
sesuai dengan aturan agama dan negara tetapi sebenarnya didalam hatinya ada
niat buruk untuk menguras harta kekayaan si pihak wanita dan lain – lain. Dari
contoh tersebut secara lahiriyah sesuai dengan kaidah hukum karena dia menikahi
dengan jalur tidak melanggar hukum tapi sebenarnya batin pria tersebut adalah
buruk.
Karena ada kaidah hukum maka hukum
dapat dipandang sebagai kaidah. Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman
atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Pada
konteks ini masyarakat memandang bahwa hukum merupakan patokan-patokan atau
pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka lakukan. Pada
makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi
bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Kebiasaan
yang sudah lumrah dipatuhi dalam suatu masyarakat pun meskipun tidak secara
resmi dituliskan, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba
melanggarnya akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap
sebagai hukum.
Menurut
sifatnya kaidah hukum terbagi 2, yaitu :
1. hukum yang imperatif, maksudnya kaidah hukum
itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa.
2. hukum yang
fakultatif maksudnya ialah hukum itu tidak secara apriori mengikat. Kaidah
fakultatif bersifat sebagai pelengkap.
Ada
4 macam norma yaitu :
1. Norma Agama
adalah peraturan hidup yang berisi pengertian-pengertian, perintah-perintah,
larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan yang merupakan
tuntunan hidup ke arah atau jalan yang benar.
2. Norma
Kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati. Peraturan
ini berisi suara batin yang diakui oleh sebagian orang sebagai pedoman dalam
sikap dan perbuatannya.
3. Norma
Kesopanan adalah peraturan hidup yang muncul dari hubungan sosial antar
individu. Tiap golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan tertentu
mengenai kesopanan.
4. Norma Hukum
adalah peraturan-peraturan hidup yang diakui oleh negara dan harus dilaksanakan
di tiap-tiap daerah dalam negara tersebut. Dapat diartikan bahwa norma hukum
ini mengikat tiap warganegara dalam wilayah negara tersebut
BAB 2
SUBYEK DAN
OBYEK HUKUM
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni
manusia dan badan hukum.
1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara
kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai
subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia
meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa
dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang
menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai
subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi
status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban.
Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.
Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa
hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi
hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi
hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu
perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada
KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik.
Kemudian, berdasarkan pasal 503-504 KUH
Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni :
1. Benda yang bersifat kebendaan adalah suatu benda yang sifatnya dapat
dilihat, diraba, dan dirasakan dengan panca indra.
2. Benda yang bersifat tidak kebendaan adalah suatu benda yang hanya dirasakan
oleh panca indra saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan
menjadi suatu kenyataan, contoh merek perusahaan, paten, ciptaan musik.
Dalam pada itu, berdasarkan uraian di
atas maka di dalam KUH Perdata benda dapat dibedakan menjadi :
1. Barang wujud dan barang tidak berwujud,
2. Barang bergerak dan barang tidak
bergerak,
3. Barang dapat dipakai habis dan barang tidak dapat dipakai habis,
4. Barang yang sudah ada dan barang yang masih akan ada,
5. Barang uang dalam perdagangan dan barang diluar perdagangan,
6. Barang yang dapat dibagi dan barang yang tidak dapat dibagi.
Sementara itu, diantara ke enam perbedaan diatas yang paling penting adalah
membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Membedakan benda bergerak
dan benda tidak bergerak ini penting, artinya karena berhubungan dengan empat
hal adalah pemilikan, penyerahan, daluarsa, dan, pembebanan.
BAB 3
HUKUM
PERDATA
A.
HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak
dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum
di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum
publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common
law) tidak dikenal pembagian semacam ini. Hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam
arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai
lawan dari hukum pidana.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah
hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata
yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya
berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda
atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian
materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang
RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem
di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr.
Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan
Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPer Indonesia diumumkan
pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2
aturan peralihan UUD 1945, KUHPer Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku
sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar
ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
B.
SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA
Sejarah membuktikan bahwa hukum
perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum
perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping
adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa
Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama
“ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code
Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin,
Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum
jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di
belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan,
bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5
juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK
(Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya
berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.
C.
PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam
arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai
lawan dari hukum pidana.
Pengertian hukum privat (hukum
perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur
hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari
masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada
juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata)
atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang
mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan
perdata.
KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di
Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam.
Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1.
Faktor etnis
2.
Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada
pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a.
Golongan eropa
b.
Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c.
Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan
asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu
hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak
mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan
hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang
sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya
sebagai berikut :
1.
Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana
beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab
undang-undang yaitu di kodifikasi).
2.
Untuk golongan bangsa eropa harus dianut
perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3.
Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika
ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4.
Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka
belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5.
Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam
undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
D.
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika
hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a.
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer)
terdiri dari empat bagian, yaitu :
1.
Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum
perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai
timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan,
keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian
perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku
dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.
Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum
benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum
yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan
penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak
bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda
berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap
sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya
hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan
dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
tentang hak tanggungan.
3.
Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum
perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini
sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang
hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang
jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari
(ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian),
syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang
perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai
acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa
dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
4.
Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak
dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam
mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan
pembuktian.
b.
Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian
yaitu :
I.
Hukum tentang diri seseorang (pribadi) : Mengatur
tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk
bertindak sendiri.
II.
Hukum kekeluargaan : Mengatur perihal hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam
lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan
anak, perwalian dan lain-lain.
III.
Hukum kekayaan : Mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan
kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang
antara lain :
·
hak seseorang pengarang atau karangannya
·
hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu
pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.
IV.
Hukum warisan : Mengatur tentang benda atau kekayaan
seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur
akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
BAB 4
HUKUM
PERIKATAN
1. PENGERTIAN HUKUM PERIKATAN
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
2. Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan
diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan
azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat adalah :
1) Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2) Cakap
untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya
bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21
tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3) Mengenai
Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4) Suatu
sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum
4.
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
5. Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur
(Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
6. Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara
penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
7. Pembaharuan
utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada
diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya
diganti oleh debitur lain.
8. Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi
undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan.
Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat
diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih
seketika.
9. Pembebasan
utang
Undang-undang tidak memberikan
definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah
perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih
piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu.
Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah
mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada
debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan
utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya
pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti
tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi
hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk
membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka
dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang
diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
10. Musnahnya
barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari
suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga
undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan
tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam
keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau
hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan
ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu
semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur
lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan
debitur.
11. Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam
dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut batal
demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta
dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut
adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada
putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan,
perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku.
Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.
12.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini
adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat
mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang
batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
13.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat
diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas
suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”;
Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah
terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat
dan praktis.
14.
SISTEM HUKUM PERIKATAN
Sistem
hukum perikatan bersifat terbuka. Artinya, setiap perikatan memberikan
kemungkinan bagi setiap orang untuk mengadakan berbagai bentuk perjanjian,
seperti yang telah diatur dalam Undang-undang, serta peraturan khusus atau
peraturan baru yang belum ada kepastian dan ketentuannya. Misalnya perjanjian
sewa rumah, sewa tanah, dan sebagainya.
15. SIFAT HUKUM PERIKATAN
Hukum
perikatan merupakan hukum pelengkap, konsensuil, dan obligatoir. Bersifat
sebagai hukum pelengkap artinya jika para pihak membuat ketentuan masing –
masing, setiap pihak dapat mengesampingkan peraturan dalam Undang – undang. Hukum
perikatan bersifat konsensuil artinya ketika kata sepakat telah dicapai oleh
masing-masing pihak, perjanjian tersebut bersifat mengikat dan dapat dipenuhi
dengan tanggung jawab. Sementara itu, obligatoir berarti setiap perjanjian yang
telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan hak milik akan berpindah setelah
dilakukan penyerahan kepada tiap – tiap pihak yang telah bersepakat.
16.
MACAM – MACAM HUKUM PERIKATAN
Berikut ini meruapkan beberapa jenis hukum perikatan :
- Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada syarat tertentu.
- Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang pasti terjadi.
- Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng, yaitu para pihak dalam perjanjian terdiri dari satu orang pihak yang satu dan satu orang pihak yang lain. Akan tetapi, sering terjadi salah satu pihak atau kerdua belah pihak terdiri dari lebih dari satu orang
SUMBER-SUMBER :
http://vhinta.blogspot.com/2011/04/pengertian-hukum-ekonomi.html
http://oday21.wordpress.com/2011/04/16/hukum-perdata-yang-berlaku-di-indonesia/
http://jaggerjaques.blogspot.com/2011/05/hukum-perdata-yang-berlaku-di-indonesia.html
http://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/